Selasa, 03 November 2009

Kenali kuliner tak terlupakan di Kabupaten Pandeglang

”Seafood of Love” untuk Satenya Bu Entin

Sate Bu Entin
Kenali dan Kunjungi Objek Wisata di Pandeglang
Labuan hanyalah kota kecamatan di kawasan pantai barat Banten. Tidak jauh ke sebelah selatan dari pantai Carita yang belakangan lebih terkenal itu. Namun kalau kebetulan pergi berlibur ke pantai Carita, sebaiknya jangan lewatkan untuk mampir ke Labuan, lalu carilah Rumah Makan Bu Entin di Jalan Raya Labuan Encle. Kalau kesulitan, tanya saja sama orang lewat di sana pasti tahu tempatnya.
Apa yang menarik dengan rumah makan Bu Entin? Wow..., jangan kaget di sana ada sate raksasa…… Ini bukan menu satenya Buto Ijo, melainkan ya disediakan bagi pemangsa daging sejenis manusia yang kelaparan. Hanya manusia yang kelaparan yang sanggup menghabiskan beberapa tusuk satenya Bu Entin.

Coba simak deskripsi berikut ini : Satu tusuk sate hati sapi terdiri dari lima potong yang kalau di tempat lain barangkali satu potongnya ini sudah ekuivalen dengan setusuk sate. Satu tusuk sate cumi-cumi terdiri dari lima ekor masing-masing berukuran sebesar batu baterei D-size gemuk sedikit. Satu tusuk sate udang terdiri dari lima ekor masing-masing berukuran sekorek api besar sedikit dan ada juga yang lebih besar. Satu tusuk sate ikan (entah ikan apa) terdiri hanya seekor ikan laut kira-kira selebar peci hitam untuk sholat (tidak usah repot-repot sholat dulu untuk membayangkan, pokoknya cukup buesar….).

Belum lagi otak-otak yang bungkus daun pisangnya gosong di sana-sini dan masih panas, dipadu dengan dua macam sambal berwarna merah dan coklat muda. Masih ada urap, lalap leuncak, mentimun dan tauge kecil mentah, dsb.Dari tampilannya saja (sumprit…, saya berkata sejujurnya) ludah saya sudah tertelan beberapa gelombang. Sampai bingung saya harus memulai dari mana untuk memakannya, padahal nasi sudah dituang ke piring dari beboko (ceting) yang disediakan. Akhirnya yang saya ambil duluan malah tauge mentah saya campur dengan sambal cabe merah.

Sebungkus otak-otak saya buka kemudian dan saya dulitkan (cocolkan) ke sambal yang berwarna coklat muda. Komentar saya spontan pendek saja… “Hmm…., enak…, enak sekali….”. Pilihan hasil assessment saya memang hanya dua, enak dan hoenak sekale…..
Sejurus kemudian baru setusuk cumi, setusuk udang dan beberapa potong hati sapi yang saya dudut (lolos) dari tusuknya. Itupun sudah hampir menenggelamkan nasi di piring saya, yang kemudian malah belakangan baru saya makan nasinya. Oedan tenan……., sungguh sebuah petualangan makan-makan yang ruarrr biasa…..  Setiap gigitan dan kunyahan cumi-cumi dan udangnya terasa benar sensasi seafood bakarnya. Juga potongan hati sapinya mak kress…. di gigi ketika memotong tekstur bongkahan sate hati sapi yang dibakar hingga tingkat kematangan well done (sebaiknya jangan setengah matang).

Hampir sejam kemudian, perut sudah terasa kenyang nian…… nafsu serakah seperti sulit dikendalikan, tapi apa daya kapasitas tembolok manusia memang ada batasnya.
***
Bu Entin
Entah dimana Bu Entin pernah belajar bisnis, namun sejak awal membuka usaha (yang kata pegawainya sejak tahun 1996), Bu Entin sudah menerapkan jurus deferensiasi. Bu Entin berani tampil beda dengan ide sate hati sapi raksasa dan sate seafood yang juga berukuran tidak biasa. Ditambah dengan adonan sambalnya yang mirasa, membuat faktor pembeda itu semakin mantap pada posisinya dan bertahan hingga kini. Akhirnya terbentuklah brand image Bu Entin yang seakan menjadi jaminan kepuasan pelanggannya.
Bu Entin memang luar biasa, masakannya maksudnya……. Meski yang menyajikan masakannya sebenarnya juga bukan Bu Entin sendiri melainkan para pegawainya. Tapi nama kondangnya sudah cukup untuk memanipulasi seperti apapun kualitas kemahiran memasak pegawainya. Siapapun pengunjung yang datang untuk menikmati sate raksasa dan sate seafood Bu Entin, maka yang terbayang adalah buah karya tangan Bu Entin.
Layaknya sebuah kesuksesan, maka kemudian berduyun-duyun para pengikut meniru jejak Bu Entin membuka usaha rumah makan sejenis di seputaran kawasan Labuan. Namun tetap saja Rumah Makan Bu Entin yang paling banyak diminati sehingga bukannya pengunjungnya berkurang, malahan semakin dikenal.
Bu Entin
Kendati tampilan warungnya terkesan sangat sederhana, namun sajian cita rasa yang ditawarkan sungguh tidak sesederhana tampilannya, melainkan membuat kangen banyak pelanggan setianya terlebih bagi pengunjung fanatik yang sudah telanjur cocok dengan masakan Bu Entin.
Seorang pengunjungnya yang datang dari mancanegara saking terkesannya dengan masakan sate seafood Bu Entin, sampai menyempatkan untuk menuliskan sebuah puisi berjudul “Seafood of Love”, yang kini dipajang di dinding Rumah Makan Bu Entin. (Yusuf Iskandar - madurejo.wordpress.com)

Menyantap Sate Padali Sebelum Masuk Sumur

Warung PadaliKenali dan Kunjungi Objek Wisata di Pandeglang
Warung sate itu bernama Padali. Jangan salah, bahwa Padali itu bukan suaminya Bu Dali. Awalnya saya juga mengira demikian (sebutan khas orang Sunda yang biasa menulis Pa untuk Pak). Padali adalah nama tempat atau kampung dimana warung itu berada.
Warung Sate Padali saya jumpai di rute perjalanan dari arah Labuan menuju Legon, dermaga penyeberangan ke pulau Umang, Pandeglang, Banten. Kira-kira 13 km sebelum masuk Sumur, perlu hati-hati (namanya juga mau masuk sumur……). Di sana ada perempatan jalan kecil yang cukup padat kalau siang hari karena selain jalannya relatif sempit meski beraspal, tapi lokasinya berdekatan dengan pasar dan pusat kegiatan ekonomi masyarakat kampung Padali.
Untuk menuju ke Sumur, sesampai di perempatan Padali belok ke kanan. Tapi kalau mau mengisi perut dulu, ambil jalan lurus sedikit dan berhenti di sebelah kanan jalan. Sebuah spanduk warna putih bertuliskan cukup jelas memberitahu keberadaan Warung Sate Padali. Di daerah sepanjang rute ini memang tidak banyak pilihan warung makan. Setidak-tidaknya saya sudah berusaha mencarinya sejak dari kawasan Sumur dan belum menemukan yang pas di hati, hingga akhirnya ketemu warung sate Padali. Maka warung sate Padali bisa jadi pilihan di antara yang tidak banyak itu.
Apa menu yang ditawarkan? Menu unggulannya adalah sate kambing, sate sapi dan sop kikil kambing. Masih ada asesori tambahan yaitu krecek kambing. Krecek di sini bukan seperti krecek-nya orang Jogja yang disebut koyoran yang berbahan kulit sapi dan biasanya dimasak sambal goreng pelengkap gudeg atau sayur brongkos. Krecek kambing di sini adalah potongan-potongan jerohan kambing, seperti babat, usus, limpa dan kawan-kawannya, yang digoreng dan berasa gurih. Meski tersedia juga menu lainnya bagi yang tidak suka daging-dagingan.
Menyesuaikan dengan kondisi perut yang sudah mendendangkan irama macam-macam, maka malam itu saya memesan sate kambing, sopi kikil kambing, sedikit krecek kambing karena penasaran ingin mencoba rasanya, ditambah dengan petai bakar. Tidak terlalu lama untuk menunggu disajikan. Satenya disajikan dengan bumbu ganda, ada bumbu kecap dan ada bumbu kacang. Bumbu kacangnya sungguh sedap, agak manis dan agak pedas. Lebih sedap lagi ketika setusuk sate kambing panas dioleskan pada kedua bumbu yang dicampurkan. Wuih……, sepertinya tidak sabar ingin segera menelan semuanya……
Tapi namanya juga manusia, panjang ususnya tentu saja terbatas. Belum habis seporsi sate yang terdiri dari 10 tusuk, diselingi dengan mengerokoti kulit kikil kambing yang lunak dengan bumbu sopnya pas benar, masih diselingi dengan gigitan-gigitan krecek kambing, akhirnya ibarat lomba lari belum sampai garis finish sudah klepek-klepek……., kecepatan terpaksa dikurangi. Perut kemlakaren……., kekenyangan.
Paduan rasa dan bumbunya secara keseluruhan cukup memuaskan. Hanya sayangnya agak kurang pandai memilih daging, sehingga ada beberapa potong daging kambing yang kenyal dan alot dikunyah. Tapi, it’s OK. Harganya tidak semahal di kota. Di kawasan ini harga makanan relatif murah, meski lokasinya jauh dari mana-mana.
***
Penjual sate yang saya lupa menanyakan namanya dan mengaku berasal dari Purwakarta ini rupanya sudah sekitar empat tahunan berjualan sate di Padali. Kini warung satenya semakin ramai dikunjungi para pemakan (orang yang mencari makan di luar, maksudnya). Terutama sejak di dekat sana ada aktifitas ekonomi baru, yaitu usaha pertambangan emas di wilayah kecamatan Cibaliung.
Kawasan barat wilayah kabupaten Pandeglang yang selama ini dikenal sebagai daerah yang kurang subur untuk usaha pertanian, kini kehidupan ekonomi sebagian penduduknya menjadi agak terangkat. Terutama mereka yang mempunyai keterampilan untuk dididik menjadi tenaga kerja tambang. Kawasan itu juga menjadi lebih ramai dibanding sebelumnya, dengan adanya penduduk pendatang yang bekerja di tambang.
Sepasang suami-istri penjual sate itu pun kini bisa tersenyum gembira, tiga ekor kambing siap disembelih setiap harinya guna memenuhi permintaan penggemar satenya. Kalau daging sapinya cukup dengan membelinya di pasar.
Warung sate ini dari luar masih terlihat sangat sederhana dan terkesan ndeso, meja dan bangkunya juga seadanya, dan sebaiknya tidak dibayangkan seperti warung sejenis di kota. Namun saya yakin tidak lama lagi warung sate ini akan tampil beda, baik tampilan tempat maupun pelayanannya. Racikan bumbu sate dan sopnya cukuplah menjadi modal bagi kesuksesan warung ndeso ini kalau saja mereka pandai mengelola warungnya yang ada sekarang.
Belum lagi kalau pengunjung ke obyek wisata pantai Sumur, pulau Umang dan sekitarnya semakin ramai. Bolehlah pemilik warung sate ini berharap agar dalam perjalanan wisatanya orang-orang mau mampir menyantap sate Padali dulu sebelum masuk Sumur. (Yusuf Iskandar - madurejo.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar